gara-gara libur 3 hari ini, alhasil saya jadi sering nongkrongin tv. mumping belum terlalu sibuk, jadi saya masih memanjakan diri dengan hal-hal yang nyantai. siang ini , entah ada angin apa, tiba-tiba ko pengen nonton metro TV dan wow, ternyata ada dialog ringan dengan Meneg BUMN yang baru, Bapak Dahlan Iskan. beliau ini mantan dirut PLN, yang disebut-sebut sukses menjabat posisi tersebut. bukan itu yang menjadi titik berat dari cerita saya tapi, yang membuat saya jatuh hati kepada bapak ini ialah kesederhanaannya.
dengan setelan casual untuk bapak-bapak seumuran bapak saya ini tergolong tampak easy going dan enak untuk dilihat. kemeja lengan panjang yang digulung dan sepatu keds merk New Era. tau kan harga New Era berapa, jauh dibawah Reebok, Nike, atau merk sepatu yang biasa dipajang di etalase toko. mungkin converse jauh lebih mahal dari sepatu pak menteri ini.
ga asik kan kalo cuma liat style aja, dan ternyata ada hal yang menarik lagi dari pak menteri ini. hatinya udah ga ori men! yap, beliau terkena sirosis dan melakukan transplantasi hati. 5 tahun menjadi masa "percobaan", kalo 5 tahun oke maka seterusnya oke, kalo engga. ya Wallohualambissawab! yang menjadi menarik ialah, setiap hari Pak Dahlan harus meminum obat imunosupressan setiap jam 5 pagi dan jam 5 sore TIDAK BOLEH TERLEWAT. yang langsung terpikir adalah : trims Pak telah menjadi pasien yang patuh. hehe
ini kutipan dari blog web PLN, langsung ditulis oleh Bapak:
ada juga link dari blog yang mengatasnamakan Pak Dahlan Iskan, here http://dahlaniskan.wordpress.com/
Malam itu saya sudah berada di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta,
Jakarta. Siap berangkat ke Amsterdam, Belanda. Tas sudah masuk bagasi.
Saya cek lagi paspor untuk melihat dokumen imigrasi. Semua beres. Saya
pun siap-siap, sebentar lagi boarding. Istri saya sudah berada di Eropa
tiga hari lebih dulu. Mendampingi anak sulung saya yang menjabat Dirut
Jawa Pos, yang menerima penghargaan dari persatuan koran sedunia. Jawa
Pos terpilih sebagai koran terbaik dunia tahun ini.
Saya pun kirim BBM kepada direksi PLN untuk memberi tahu saat
boarding sudah dekat. “Kapan pulangnya, Pak Dis?” tanya seorang
direktur. “Tanggal 21 Oktober. Setelah kabinet baru diumumkan,” jawab
saya. “Ooh, ini kepergian untuk ngelesi ya,” guraunya.
Saya memang tidak kepengin jadi menteri. Saya sudah telanjur jatuh
cinta dengan PLN. Instansi yang dulu saya benci mati-matian ini telah
membuat saya sangat bergairah dan serasa muda kembali. Bukan karena
tergiur fasilitas dan gaji besar, tapi saya merasa telah menemukan model
transformasi korporasi yang sangat besar yang biasanya sulit berubah.
Saya juga tidak habis pikir mengapa PLN bisa berubah menjadi begitu
dinamis. Beberapa faktor terlintas di pikiran saya.
Pertama, mayoritas orang PLN adalah orang yang berotak
encer. Problem-problem sulit cepat mereka pecahkan. Sejak dari konsep,
roadmap, sampai aplikasi teknisnya.
Kedua, latar belakang pendidikan orang PLN umumnya teknologi sehingga sudah terbiasa berpikir logis.
Ketiga, gelombang internal yang menghendaki PLN menjadi perusahaan yang baik/maju ternyata sangat-sangat besar.
Keempat, intervensi dari luar yang biasanya merusak sangat minimal.
Kelima, iklim yang diciptakan Men BUMN Bapak Mustafa
Abubakar sangat kondusif yang memungkinkan lahirnya inisiatif-inisiatif
besar dari korporasi.
Lima faktor itu yang membuat saya hidup bahagia di PLN. Dengan modal
lima hal itu pula, komitmen apa pun untuk menyelesaikan persoalan rakyat
di bidang kelistrikan bisa cepat terwujud. Itulah sebabnya saya berani
membayangkan, akhir 2012 adalah saat yang sangat mengesankan bagi PLN.
Pada hari itu nanti, energy mix sudah sangat baik. Berarti
penghematan bisa mencapai angka triliunan rupiah. Jumlah mati lampu
sudah mencapai standar internasional untuk negara sekelas Indonesia.
Penggunaan meter prabayar sudah menjadi yang terbesar di dunia. Rasio
elektrifikasi sudah di atas 75 persen. Provinsi-provinsi yang selama ini
dihina dengan cap “ayam mati di lumbung” sudah terbebas dari ejekan
itu. Sumsel, Riau, Kalsel, Kaltim, dan Kalteng yang selama ini menjadi
simbol “ayam mati di lumbung energi” sudah surplus listrik.
Pada akhir 2012 itu nanti, tepat tiga tahun saya di PLN, saatnya saya
mengambil keputusan untuk kepentingan diri saya sendiri: berhenti! Saya
ingin kembali menjadi orang bebas. Tidak ada kebahagiaan melebihi
kebahagiaan orang bebas. Apalagi, orang bebas yang sehat, punya istri,
punya anak, punya cucu, dan he he punya uang! Bisa ke mana pun mau pergi
dan bisa mendapatkan apa pun yang dimau. Saya tahu masa jabatan saya
memang lima tahun, tapi saya sudah sepakat dengan istri untuk hanya tiga
tahun.
Niat seperti itu sudah sering saya kemukakan kepada sesama direksi.
Terutama di bulan-bulan pertama dulu. Tapi, mereka melarang saya
menyampaikannya secara terbuka. Khawatir menganggu kestabilan internal
PLN. Mengapa? “Takut sejak jauh-jauh hari sudah banyak yang memasang
strategi mengincar kursi Dirut,” ujarnya.
“Bukan strategi memajukan PLN,” tambahnya. “Lebih baik selama tiga
tahun itu kita menyusun perkuatan internal agar sewaktu-waktu Pak Dis
meninggalkan PLN kultur internal kita sudah baik,” katanya pula.
Saya setuju untuk menyimpan “dendam tiga tahun” itu. Organisasi
sebesar PLN memang tidak boleh sering guncang. Terlalu besar muatannya.
Kalau kendaraannya terguncang-guncang terus, bisa mabuk penumpangnya.
Kalau 50.000 orang karyawan PLN mabuk semua, muntahannya akan
menenggelamkan perusahaan.
Sepeninggal saya ini pun tidak boleh ada guncangan. Saya akan
mengusulkan ke menteri BUMN yang baru untuk memilih salah seorang di
antara direksi yang ada sekarang, yang terbukti sangat mampu memajukan
PLN. Kalau di antara direksi sendiri ada yang ternyata berebut, saya
akan usulkan untuk diberhentikan sekalian. Tapi, tidak mungkin direksi
yang ada sekarang punya sifat seperti itu.
Saya sudah menyelaminya selama hampir dua tahun. Saya merasakan tim
direksi PLN ini benar-benar satu hati, satu rasa, dan satu tekad. Ini
sudah dibuktikan, ketika PLN menerima tekanan intervensi yang luar biasa
besar, direksi sangat kompak menepis.
Kekompakan seperti itu yang juga membuat saya semakin bergairah untuk
bekerja keras mempercepat transformasi PLN. Saya menyadari waktu tidak
banyak. Keinginan untuk bisa segera menjadi orang bebas tidak boleh
menyisakan agenda yang menyulitkan masa depan PLN. Itulah sebabnya moto
PLN yang lama yang berbunyi “listrik untuk kehidupan yang lebih baik”
kita ganti untuk sementara dengan moto yang lebih sederhana tapi nyata:
Kerja! Kerja! Kerja!
Tanggal 27 Oktober 2011 nanti, bertepatan dengan Hari Listrik
Nasional, moto baru itu akan digemakan ke seluruh Indonesia. Kerja!
Kerja! Kerja! Sebenarnya ada satu kalimat yang saya usulkan sebelum kata
kerja! kerja! kerja! itu. Lengkapnya begini: Jauhi politik! Kerja!
Kerja! Kerja!
Tapi, teman-teman PLN menyarankan kalimat awal itu dihapus saja agar
tidak menimbulkan komplikasi politik. Tentu saya setuju. Saya tahu,
berniat menjauhi politik pun bisa kena masalah politik!
Sudah lama saya ingin naik business class yang baru dari Garuda
Indonesia. Kesempatan ke Eropa ini saya pergunakan dengan baik. Toh
bayar dengan uang pribadi. Saya dengar business class-nya Garuda
sekarang tidak kalah mewah dengan penerbangan terkenal lainnya. Saya
ingin merasakannya. Saya ingin membandingkannya. Kebetulan saat umrah
Lebaran lalu saya sempat naik business class pesawat terbaru Emirat A380
yang ada barnya itu.
Sejak awal, sejak sebelum menjabat CEO PLN, saya memang mengagumi
transformasi yang dilakukan Garuda. Saya dengar di Singapura pun kini
Garuda sudah mendarat di terminal tiga. Lambang presitise dan
keunggulan. Tidak lagi mendarat di terminal 1 yang sering menimbulkan
ejekan “ini kan pesawat Indonesia, taruh saja di terminal 1 yang paling
lama itu!”
Beberapa menit lagi saya akan merasakan kali pertama business class
jarak jauh Garuda yang baru. Saya seperti tidak sabar menunggu boarding.
Di saat seperti itulah tiba-tiba; “Ini ada tilpon untuk Pak Dahlan,”
ujar keluarga saya yang akan sama-sama ke Eropa sambil menyodorkan
HP-nya.
Telepon pun saya terima. Saya tercenung. “Tidak boleh berangkat! Ini
perintah Presiden!” bunyi telepon itu. “Wah, saya kena cekal,” kata saya
dalam hati. Mendapat perintah untuk membatalkan terbang ke Eropa,
pikiran saya langsung terbang ke mana-mana.
Ke Wamena yang listriknya harus cukup dan 100 persen harus dari
tenaga air tahun depan. Ke Buol yang baru saya putuskan segera bangun
PLTGB (pembangkit listrik tenaga gas batu bara) agar dalam delapan bulan
sudah menghasilkan listrik. Ke PLTU Amurang yang tidak selesai-selesai.
Ke Flores yang membuat saya bersumpah untuk menyelesaikan PLTP
(pembangkit listrik tenaga panas bumi) Ulumbu sebelum Natal ini. Saya
tahu, teman-teman di Ulumbu bekerja amat keras agar sumpah itu tidak
menimbulkan kutukan.
Pikiran saya juga terbang ke Lombok yang kelistrikannya selalu
mengganggu pikiran saya. Sampai-sampai mendadak saya putuskan harus ada
mini LNG di Lombok dalam waktu cepat. Ini saya simpulkan setelah kembali
meninjau Lombok malam-malam minggu lalu. Saya tidak yakin, PLTU di sana
bisa menyelesaikan masalah Lombok dengan tuntas.
Pikiran saya terbang ke Bali, membayangkan transmisi Bali Crossing
yang akan menjadi tower tertinggi di dunia. Ke Banten Selatan dan Jabar
Selatan yang tegangan listriknya begitu rendah seperti takut menyetrum
Nyi Roro Kidul.
Meski masih tercenung di ruang tunggu Garuda, pikiran saya juga
terbang ke Lampung yang enam bulan lagi akan surplus listrik dengan
selesainya PLTU baru dan geotermal Ulubellu.
Juga teringat GM Lampung Agung Suteja yang saya beri beban berat
untuk menyelesaikan nasib 10.000 petambak udang di Dipasena dalam waktu
tiga bulan. Padahal, dia baru dapat beban berat menyelesaikan 80.000
warga yang harus secara masal pindah mendadak dari listrik koperasi ke
listrik PLN.
Pikiran saya juga terbang ke Manna di selatan Bengkulu. Saya kepikir
apakah saya masih boleh datang ke Manna tanggal 30 Desember, seperti
yang saya janjikan untuk bersama-sama rakyat setempat syukuran
terselesaikannya masalah listrik yang rumit di Manna. Saya terpikir
Rengat, Tembilahan, Selatpanjang, Siak, dan Bagan Siapi-api yang saya
programkan tahun depan harus beres.
Saya teringat Medan dan Tapanuli: alangkah hebatnya kawasan ini kalau
listriknya tercukupi, tapi juga ingat alangkah beratnya persoalan di
situ: proyek Pangkalan Susu yang ruwet, izin Asahan 3 yang belum keluar,
PLTP Sarulla yang bertele-tele, dan Bandara Silangit yang belum juga
dibesarkan.
Pikiran saya terus melayang ke Jambi yang akan menjadi percontohan
penyelesaian problem terpelik sistem kelistrikan: problem peaker. Di
sana lagi dibangun terminal compressed gas storage (CNG) yang kalau
berhasil akan menjadi model untuk seluruh Indonesia. Saya ingin sekali
melihatnya mulai beroperasi beberapa bulan lagi. Masihkah saya boleh
menengok bayi Jambi itu nanti?
Juga ingat Seram di Maluku yang harus segera membangun minihidro.
Lalu, bagaimana nasib program 100 pulau harus berlistrik 100 persen
tenaga matahari. Ingat Halmahera, Sumba, Timika.
Tentu saya juga ingat Pacitan. PLTU di Pacitan belum menemukan jalan
keluar. Yakni, bagaimana mengatasi gelombang dahsyat yang mencapai 8
meter di situ. Ini sangat menyulitkan dalam membangun breakwater untuk
melindungi pelabuhan batu bara.
Dan Rabu 23 Oktober lusa saya janji ke Nias. Dan bermalam di situ.
Empat bupati di Kepulauan Nias sudah bertekad mendiskusikan bersama
bagaimana membangun Nias dengan terlebih dahulu mengatasi masalah
listriknya.
Yang paling membuat saya gundah adalah ini: saya melihat dan
merasakan betapa bergairahnya seluruh jajaran PLN saat ini untuk bekerja
keras memperbaiki diri. Saya seperti ingat satu per satu wajah
teman-teman PLN di seluruh Indonesia yang pernah saya datangi.
Dengan pikiran yang gundah seperti itulah, saya berdiri. Mengurus
pembatalan terbang ke Eropa. Menarik kembali bagasi, membatalkan
boarding, mengusahakan stempel imigrasi, dan meninggalkan bandara.
the casual minister :) |
Hati saya malam itu sangat galau. Saya sudah telanjur jatuh cinta
setengah mati kepada orang yang dulu saya benci: PLN. Tapi, belum lagi
saya bisa merayakan bulan madunya, saya harus meninggalkannya. Inikah
yang disebut kasih tak sampai? (*)